Upacara adat Bali penuh seni dan penuh makna



Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah di Bali yang sangat terkenal bahkan hingga ke mancanegara karena keunikannya. Ngaben biasanya lazim disebut kremasi sebagai istilah umumnya. Sesungguhnya kremasi tak hanya dilakukan oleh umat Hindu, tapi oleh beberapa umat agama lain. Namun, hanya di Bali-lah ditemukan prosesi pembakaran jenazah yang begitu unik, semarak, megah, dan penuh kesenian. Tak ayal, pelaksanaan ngaben ini sering dipadati oleh wisatawan yang ingin menyaksikan secara langsung keunikan prosesi pembakaran jenazah unik satu-satunya di dunia ini.
Ngaben sebenarnya adalah istilah yang biasa digunakan untuk golongan masyarakat umum seperti yang diatur dalam struktur sosial masyarakat adat Bali. Sedangkan dari kalangan bangsawan atau keluarga kerajaan prosesi itu disebut dengan Pelebon. Ngaben berasal dari kata ngabuin atau ngabu yang berarti menjadikan abu, sedangkan pelebon berasal dari kata pelebuan yang mempunyai arti sama, yaitu menjadikan abu. Upacara Ngaben dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui kelahiran kembali ataupun moksha (bersatu dengan Tuhan).
Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan lumayan besar, upacara memakan waktu yang cukup lama. Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad atau disebut layon sering dikebumikan terlebih dahulu menunggu biaya pengabenan tercukupi. Jika dihitung, pengabenan dengan mempergunakan metode ini cukup banyak memangkas biaya. Jika biaya ngaben perseorangan biasanya memakan biaya 10 – 25 juta rupiah, dengan melakukan pengabenan massal biaya per orang rata-rata tak lebih dari 5 juta rupiah dengan upacara yang lengkap. Namun bagi beberapa keluarga yang mampu secara finasial, upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, kemudian menunggu keputusan pemilihan hari baik menurut kalender Hindu Bali dan kesepakatan bersama keluarga serta pertimbangan dari Pedanda (Pendeta Hindu).







Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan melihat kalender Bali yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan “bade dan lembu.” Bade dan lembu yang merupakan perlengkapan utama untuk pelaksanaan upacara ngaben dipersiapkan oleh tim yang dipimpin oleh seorang Undagi atau arsitek tradisional Bali. Bade adalah menara megah dengan atap bertingkat yang akan digunakan sebagai wadah peti layon menuju lokasi upacara yang terbuat dari kayu dan bambu yang dihias dengan motif warna-warni dari kertas yang diukir. Sedangkan lembu adalah wadah untuk peti layon pada saat dilaksanakannya upacara pembakaran. Seperti namanya, lembu berbentuk seperti seekor lembu. Namun, biasanya tak hanya bentuk lembu yang digunakan, bentuk lain seperti singa, padma, naga banda (digunakan khusus keturunan raja), dan lain sebagainya juga digunakan sesuai golongan atau kasta orang yang bersangkutan.
Pada hari pelaksanaan upacara, sejak dini hari aktivitas di rumah persemayaman layon sudah banyak diwarnai dengan segala persiapan dan persembahyangan. Memasuki siang hari, biasanya segala persiapan sudah rampung dan mulai terdengar bunyi gamelan beleganjur yang penuh semangat seakan membawa suasana jauh dari duka. Kemudian, layon dikeluarkan dari ruang persemayaman untuk disiapkan di atas bade yang ada di jalan depan kediaman untuk diarak menuju lokasi upacara, yaitu setra atau kuburan desa.
Prosesi arak-arakan terdiri dari barisan pemusik angklung, pembawa banten, para pande atau ahli tempa besi, gamelan balaganjur, kemudian diikuti barisan kerabat dan keluarga. Sebuah tradisi menghantarkan kematian seseorang yang meriah layaknya sebuah pesta rakyat yang digelar dengan suka cita. Barisan arak-arakan, membuat suasana menjadi meriah di sepanjang perjalanan menuju lokasi upacara ngaben. Pada saat menemui perempatan atau persimpangan jalan, bade dan lembu diarak berputar dari arah timur ke selatan atau dari kiri ke kanan sesuai dengan arah jarum jam sebanyak tiga kali (simbol utpti, stiti, pralina) sambil menyanyikan kidung-kidung sebagai simbol “peningkatan status” dengan harapan arwah orang yang meninggal mendapat tempat terbaik dan nantinya dapat bereinkarnasi menjadi manusia yang lebih baik.




Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di punggung lembu yang diyakini sebagai kendaraan menuju nirwana. Kemudian prosesi pun dimulai dengan dipimpin oleh pendeta. Pada saat prosesi pembakaran seluruh keluarga pun berkumpul. Suasana terasa khidmat dengan disertai kidung pengantar yang terdengar sangat mengharukan. Tak jarang pada saat ini, banyak keluarga dari mendiang yang menitikkan air mata melepas kepergian orang yang dicintainya. Setelah semuanya menjadi abu, kemudian abu tersebut dilarung atau dihanyutkan ke laut atau jika jarak laut terlalu jauh dapat juga dilakukan di sungai yang pasti nantinya juga akan bermuara ke laut. Bagi umat Hindu Bali, laut merupakan simbol alam semesta yang menjadi pintu untuk memasuki rumah Tuhan. Selain itu, melarung abu orang yang telah meninggal ke laut juga bermaksud untuk mengembalikan tubuh duniawi yang terdiri dari lima unsur (air, panas, udara, ruang, tanah) ke asalnya yaitu alam semesta.
Ngaben memang merupakan sebuah ritual yang sangat penting bagi masyarakat Bali. Masyarakat Bali meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan awal dari kehidupan baru yang lebih baik, sehingga melepas kematian seseorang harus disertai dengan doa, kerelaan, serta suka cita untuk menghantarkan orang yang dicintai bebas dari ikatan keduniawian.

Comments

Popular Posts